MeRINDU


 Wahai kau aktivis dakwah, dalam kesendirianmu bertafakkur bersama hati yang menyepi. Kau teteskan air mata yang takut akan dahsyatnya neraka. Menyendiri ditengah riuhnya manusia. Diantara ketenangan jiwa dan gejolak dahsyatnya gelombang kehidupan yang senantiasa menerpa dirimu.

Engkau tak mengatakan luka yang engkau rasakan, karena perihnya perjuangan. Namun, kau begitu terluka dan menangis akan sedikit dosa, karena kekhilafan yang kau buat. Sayang, generasi seperti dirimu kian menghilang. Kekosongan ini diisi oleh generasi yang hanya mengumbar kesenangan dan ambisi pribadinya saja.

Kau yang terlena dengan indahnya pujian. Tertipu dengan manisnya gurauan. Akankah kau tertawa ditengah perihnya umat yang meregang nyawa. Hanya karena dirinya ingin tetap dalam keadaan mukmin. Masihkah dirimu meneteskan airmata karena ketakutan yang kau rasa. Atau airmata kemunafikan yang terurai dari kelamnya hati. Sama sekali tak tersentuh dengan indahnya cahaya keimanan.

Janganlah kau menangis ditengah riuhnya manusia, karena airmata yang kau tumpahkan tak berguna bagi mereka. Dan mereka tak akan mengatakan kepadamu, kau adalah hamba Allah yang senantiasa takut kepadanya.

Mereka tahu yang tersembunyi dibalik hatimu. Karena wajah, mata, dan bibirmu, akan memberikan penjelasan apa yang tersembunyi dibalik hatimu. Tapi, menangislah jika kau tak mampu lagi menitikkan air mata. Karena kau akan tahu betapa kerasnya hatimu, hingga air matamu tak mampu lagi melembutkan Qalbu. Sedangkan, tetesan air yang kecil mampu untuk memecahkan kerasnya batu. 

Wahai diri, tidakkah kau malu, betapa banyak nikmat yang telah kau gunakan. Betapa banyak rahmat yang kau habiskan. Hanya dalam gurauan semata, sepanjang siang dan malam. 

Wahai jasad, tidakkah kau melihat betapa dinginnya dan gelapnya tempat  yang akan kau singgahi nanti. Ia begitu mencekam, bahkan tak ada satupun lentera yang mampu meneranginya. Kecuali keimanan yang kau bina. Ia senantiasa menjadi pelita dalam hidup dan matimu. Masihkah kau ingat jasad yang terbujur itu. Apa yang mampu ia lakukan. Menutupi dirinya saja ia tak bisa. Sehingga kerabatnya yang membawanya untuk kembali pulang. 

Apakah kau lupa duhai jiwa, apakah kau lupa saat kau dahulu sendiri. Kau tak tercipta disini, apa yang kau miliki. Jika bukan karena kemuliaanNya, kau tak akan mampu menjadi insan sejati.

Hati yang selama ini mengatur dalam jiwa, ia bukanlah rasa sesaat yang datang dan kemudian sirna. Ia begitu lembut dikala sinar keimanan beserta air kesejukan menyentuhnya.

Kini seorang insan merindukan lezatnya keimanan. Ia merindukan hakikat ketakwaan. Betapa lukanya ia tak bisa merasakan itu semua. Senantiasa dalam kesendirian ia ingin menangis karena tak mampu lagi ia mendapatkan mata air kesejukan. Begitu dalam kerinduan ia rasakan, dan tak terbendung. Seketika ia putus asa, karena jawaban cinta yang tak kunjung ada. Namun, ia selalu kembali karena cinta butuh pengorbanan yang tak sedikit, untuk bisa mendapatkan jawaban cinta dari sang pujangga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senjaku Bersamamu

Senandung Gerimis Tengah Malam*

Memory yang mengikuti