Sepenggal Kisah
Adi anak kampung, yang baik dan tampan, memiliki perilaku yang disukai oleh orang sekitarnya. Masih sekolah di sebuah Pesantren yang jauh dari kampungnya. Ramah lalu sopan anaknya, bila mengaji ataupun mengkumandangkan azan, hati siapa yang tak luluh karena keindahan suaranya. Terkadang orang-orang kampung menyuruhnya untuk menjadi imam di mesjid. Karena keluasan ilmu agamanya dan baik budi pekertinya. Sering para orang tua datang dan bercerita, bergaul dengannya, berharap kelak anak mereka bisa seperti dirinya.
Di pesantren Adi menjadi idaman bagi para santriwati. Bukan hanya karena wajah ataupun suaranya. Namun, akhlaknya memang sangat mempesona. Tidak jarang para orang tua santri ataupun guru tertarik dengan kepribadiannya adi. Ia hidup hanya mengandalkan hasil dari pekerjaannya sendiri, ibunya telah lama meninggal, sejak ia masih kecil. Hanya neneknya saja yang sesekali menjenguknya di Pesantren. Itupun bila mereka selesai memanen padi, dan memiliki bekal yang cukup selama perjalanan. Jika panen sedikit atau hasil pertanian sedang sulit, mereka hanya akan memberi kabar melalui surat. Dan jika hal itu terjadi, Adi hanya bisa mengelus dada. Jika ia mau, ia bisa tetap tinggal selama liburan dipesatren. Atau ia pulang ke kampung dengan berjalan kaki sejauh puluhan kilometer, di tengah terik Matahari.
Kali ini ia sudah beberapa hari menghabiskan masa liburannya dirumah. Dan ia akan segera kembali masuk pesantren. Segera ia bersiap setelah mengkumandangkan azan shubuh dan menutup shalatnya dengan zikir dan shalawat. Ia kerumah nenek, berkemas dan bersiap untuk pergi, setelah hari mulai nampak terang. Karena perjalanan dengan kaki, cukup melelahkan. Apalagi jika matahari tepat diatas bayang-bayang. Setelah matahari terbit ia mulai berangkat meninggalkan kampungnya.
Dalam perjalanan, sebentar ia singgah di sebuah rumah kecil. Dibukanya pintu rumah tersebut sembari mengucapkan salam. Terlihat seorang lelaki paruh baya, terduduk diatas lantai. Rambutnya panjang tak beraturan, ada gumpalan- gumpalan. Pakaiannya compang-camping, bahkan hampir tidak menutupi bahagian pribadinya. Janggutnya panjang, wajahnya kusut dan tubuhnya kotor. Mengeluarkan aroma tidak sedap yang bercampur baur. Adi mendekatinya dan meraih tangannya, sambil mengucapkan "Ayah..., Adi mau berangkat ke Pesantren. Doakan ya Ayah....". Lelaki itu menatap Adi dengan tatapan kosong, bibirnya sedikit menyeringai.
Ada kisah lain yang entah harus disampaikan atau ia cukup dikenang. Tentang insan yang tak pernah bertemu walau hanya dalam mimpi. Sebut saja namanya si Fulan, pemuda kampung yang setiap harinya bekerja serabutan. Tak tentu apa yang ada dan dapat dikerjakan. Setiap pagi dan petang sebelum ia berangkat dan pulang bekerja, ia selalu singgah ke sebuah rumah di pinggiran kampung. Sekejap ia berdiri dan menatap dengan penuh hikmat rumah itu, setiap hari. Tak perduli seberapa lama dan bagaimana orang merasa aneh dengan tingkahnya. Ia tak pernah memikirkan pandangan orang lain terhadap dirinya. Dan tak pernah berhenti melakukan hal itu setiap hari. Setelah merasa cukup, kemudian berjalan perlahan dan pergi. Lalu melakukan hal yang sama saat petang sepulang bekerja. Keesokan paginya juga melakukan hal yang sama. Tak jarang ia menyentuh tanaman atau sekedar mencium bunga yang ada dipekarangan rumah itu. Meresapi harumnya kemudian pergi dengan linangan air mata. Banyak orang kampung yang menganggap pemuda tersebut sudah gila. Hanya saja ia tak pernah memperdulikan apa kata orang-orang. Terkadang dielusnya dinding atau tiang rumah itu, sekejap meresapinya dan pergi. Hanya itu, kisah yang bisa didapatkan tentangnya, seterusnya tidak lagi diketahui.
Lalu dibahagian lain dari kehidupan kampung yang sama. Tinggal seorang ibu yang tua renta, dirumah yang tidak besar. Hanya bangunannya saja yang lebih luas, ditambah halaman rumah yang lebar. Khas dengan taman-taman bunga sekedar penghias dan sedikit semak belukar tak terurus disampingnya. Ia sudah sangat tua dan renta. Punggungnya bungkuk dan jalannya sudah sama dengan ruku shalat. Hanyaa seorang diri, dan sudah lama ditinggal merantau semua anak- anaknya. Kami memanggilnya Nek Asnah. Kehidupannya tidaklah begitu sulit, hanya saja terkadang dibantu oleh tetangga disekitarnya dalam melakukan pekerjaan sehari- hari. Seperti mencari kayu bakar, membersihkan pekarangan rumahnya, kadang ia ikut bersama orang lain ke kebun untuk bekerja, sekedar mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebenarnya ia memiliki beberapa orang anak. Namun, mereka semua jauh dan sangat jarang sekali pulang untuk menemuinya. Sedangkan suaminya sudah lama meninggal, sehingga kini ia hidup sebatangkara. Anaknya ada empat orang diperantauan, dan sudah sukses, hidup sangat berkecukupan. Anaknya yang pertama seorang pengusaha sukses di kota besar, diseberang pulau sana. Bisnisnya ada dimana-mana, termasuk beberapa perusahaan terkenal didalam negeri, sehingga ia sangat sibuk dan hampir tidak pernah pulang untuk mengunjungi ibunya. Meski hanya setahun sekali, misal saat lebaran. Bahkan bisa dihitung dengan jari, sudah berapa kali ia menghubungi ibunya, dan hampir tidak ada sesuatu pun yang dia kirimkan untuk ibunya.
Lalu anak lelakinya yang kedua, bekerja diperusahaan tambang mineral yang sangat terkenal, bukan hanya didalam negeri tetapi juga diluar negeri. Ia menduduki jabatan yang tinggi, sehingga sangat dihormati oleh anggotanya dan dikenal oleh tokoh-tokoh penting negeri ini. Namun ianya sendiri sudah tak kenal lagi dengan kawan- kawan dikampungnya, atau mungkin hampir tak kenal lagi dengan rumah tempat kelahirannnya. Ya itu karena dia pun tidak pernah memberi kabar Kepada ibunya, apalagi pulang untuk sekedar melihat kampung halamannya.
Anak lelakinya yang ketiga, adalah seorang pejabat tinggi di negeri ini, wajahnya dikenal orang sebagai pejabat yang mengayomi rakyatnya. Fotonya terpampang dipinggir jalan, hampir semua orang mengenalnya. karena ia termasuk orang dekat pejabat teras. Namun, ia juga sudah lupa dan tidak lagi mengenali tanah kelahirannya beserta dengan orang- orang yang menemani masa kecilnya. Semenjak merantau, hanya dimasa-masa awal perantauannya, ia memberi kabar pada ibunya. Selebihnya berita tentangnya seperti hilang dihempas angin. Kemudian muncul sebagai seorang pejabat yang entah berasal dari mana. Dari negeri antah berantah, yang berjanji membangun negeri. Lalu kampung halamannya sendiri sendiri ? Bagaimana?.
Meskipun begitu, masih ada anak nek Asnah yang masih ingat dan sering memberi kabar padanya. Walau berada diperantauan yang jauh disana. Dinegeri seberang, negara jiran. Seorang anak perempuannya yang paling kecil, diantara semua saudaranya, Purwati namanya. Hingga saat ini masih terus memberikan kabar pada ibunya. Tak jarang semenjak setahun ia pergi merantau, ia selalu mengirimkan uang kepada ibunya. Setiap bulan Ia selalu berkirim surat, beserta uang melalui kantor pos. Tentu ini sangat membantu sekali, terlebih setelah ibunya hannya tinggal seorang diri. Bahkan tak jarang juga anaknya Purwati memberikan sumbangan kepada masyarakat di kampungnnya, untuk pembangunan sarana dan prasarana desa. Seperti keperluan sarana umum, pembangunan PAM air, pembangunan tempat ibadah, dan bantuan lainnya.
Banyak masyarakat yang merasa terbantu, hingga kebaikannya membuat namanya menjadi buah bibir dikampungnya. Orang-orang banyak yang memujinya, hal ini berbanding terbalik dengan saudaranya yang lain. Hingga suatu hari purwati pulang kampung, disambut dengan baik oleh masyarakat dan ibunya, karena semua sumbangsihnya.
Suatu ketika ingin ibunya ikut dan melihat negeri tempat purwati bekerja. Lalu diajaklah ibunya purwati ke negeri seberang bersamanya. Alangkah senangnya hati ibunya, diajak ke hotel mewah, istirahat dikamar yang mewah. Keesokan harinya diajak berkeliling melihat negara orang. Betapa senang hati ibunya, sampai ia diantar kembali ke kampungnya. Sesampainya ia bercerita dengan tetangga dengan rasa bahagia dan polosnya, menyampaikan apa yang ia rasakan. Bahwa anaknya yang perempuan sudah sukses, punya kamar mewah, penghasilan lumayan. Tidak kalah dengan saudaranya yang lain suksesnya. Apalagi purwati baik, sering mengirim kepada ibunya, yang berbanding terbalik dengan saudara- saudaranya.
Lalu, tetangga yang berkumpul mendengarkan ceritanya bertanya pada ibu Purwati, "Apa pekerjaan Purwati di negeri jiran sana bu ?, sampai dia bisa sukses seperti ini..?? ". "Aku tidak mengerti, apa pekerjaan anakku disana. Hanya saja waktu kutanya dia, lonte katanya, ah... Akupun tak tahu apa itu. Yang penting baiklah pekerjaan dia, dan bisa membantu kita semua... Iya kan pak ?". Seru sang ibu dengan wajah lugu, senyum lepas atas rasa bahagia dihatinya. Tanpa mengerti apa arti kata yang baru saja diucapkannya.
Komentar
Posting Komentar