“untukmu yang meninggalkan separuh luka dihatiku”

  


            Senja yang kau lalui, beserta kucuran hujan di siang ini. Rintik air yang jatuh membasahi bumi bersama gelapnya awan menuju sore. Perlahan mentari mulai menurun dari peraduan, memerah seakan menangis tak ingin meninggalkan hari ini.

Sedang daku menatap setiap rintik air yang jatuh, berkumpul bersama menyanyikan melodi, menyanyikan symphoni di atas atap. Mataku sayu, mataku menatap kosong kedepan. Hanya suara hujan yang menggema ditelingaku, dan tak ada lagi suara lain yang mampu menghancurkan lamunan jiwaku. Entah mengapa, seakan ketiadaan dirimu merupakan kehilangan yang menyakitkan bagiku. Sejak saat itu, ketika ku tahu bahwa bunga yang selama ini seperti menyegarkan taman hatiku, telah disinggahi kumbang di lain waktu. Dan ia tersenyum bersama sang kumbang.

Semua terasa indah, dikala aku tertawa ria bersama dirimu dan mereka. Perjalanan yang mulanya terasa biasa saja. Hanya untaian kata dari mereka, mampu mengubah sorot matamu padaku. Begitu juga dengan hatiku, seakan ada symphony indah mengisi separuh jiwaku. Bahkan aku tak mengerti maksud mereka. Kerana aku, hanya orang biasa yang tak pernah lagi merasakan cinta. Perjalanan hidup yang membuat hatiku tak mampu lagi merasakan indahnya saat bersama. Kutatap wajahmu, tanpa ada maksud apapun, mencuri- curi pandang agar aku bisa melihatmu, tanpa kau sadari. Diriku tak mengerti, mengapa aku lakukan semua ini, padahal engkau dan aku tak lebih dari teman biasa. Hari- hari yangaku jalani, tak lagi seperti biasa, bahkan terkadang aku tak ingin segera pergi. Hanya untuk bisa melihat wajahmu, pergi lebih awal agar aku bisa menatap senyum diwajahmu di balik pantulan embun pagi, dan Kembali hingga rembulan hadir menemani sekedar untuk bisa melihat engkau pergi. Perlahan dan pasti menatapmu, menumbuhkan bunga cinta dihatiku. Pergi meninggalkanmu menimbulkan kerinduan dalam benakku, hanya saja, aku tak memiliki banyak keberanian untuk berbicara terus terang kepadamu. Diriku, hanya bisa berusaha untuk menghiburmu. Membuatmu tersenyum, adalah kebahagiaan tersendiri untukku, dan menutup hari dengan menatap kosong ragamu adalah obat kerinduan disaat aku harus pulang meninggalkanmu. Menunggu hingga esok pagi, terlelap bertemankan kesunyian malam.

Aku tak bisa mengungkapkan sepatah katapun, untuk bisa memahamkan padamu bahwa ada rasa yang berbeda dihatiku saat bersamamu. Memandang wajahmu, dibalik tetesan embun pagi. Sebening itu yang mungkin aku harapkan dihati ini, agar aku bisa terus mengawasimu. Dan hanya di kebeningan itu, yah, bening... agar aku bisa bercermin di hatimu, agar aku bisa melukis cinta dihatimu. Semilir angindi setiap pagi yang menerpa tubuhku dan menghempas wajahku, sering kuabaikan demi tiba lebih awal, dan bisa sesekali menatapmu dari kejauhan, menatapmu dan bersama denganmu. Senyum kecil diwajahmu mampu hadirkan bahagia dihatiku. Begitulah seterusnya bahagia kualami, penat dan lelahnya hidup yang aku jalani, serasa hilang ditelan bumi. Tatkala engkau kulihat tersenyum.

Seiring perjalanan waktu yang kita jalani, mengguratkan rasa yang tak biasa. Masih jelas kuingat setiap canda dan tawa, juga garis senyum diwajahmu. Setiap kata yang terucap, setiap rasa yang terbesit, tak hilang dilekang waktu. Bahkan masih kuingat ceracaumu di tengah air hujan, dibawah rintik hujan. Dikala kehangatan masih bisa kurasa di dalam hatiku, ketika cinta mula bersemi dihatiku.

Sinar matamu yang mampu menghangatkan jiwaku, dan tatapan lembutmu sanggup meluluhkan hatiku. Mungkin kau sudah lupa  masa- masa seperti itu, mungkin kau tak ingat lagi kalimat yang kuucapkan waktu itu. Kalimat yang ku anggap biasa saja, namun dalam dari lubuk hatiku. Mungkin engkau menganggapnya sebatas gurauan, tak lebih dari cerita lama bersama kawan. Dikala kita tertawa bersama, ketika kita tersenyum serupa. Kamu yang pernah anggap diriku biasa saja, dan kalian yang tak pernah anggap kataku berguna. Senyapku adalah untaian kalimat dari relung hati, yang aku sampaikan melalui bait- bait syair. Tatap mataku hanya satu bahasa yang bisa aku pakai untuk memberikan satu arti padamu. Bahkan gerimis dan hujan mengerti bahwa dinginnya tak mampu merasuki tubuhku. Derasnya tak bisa lagi menusuk sumsumku, karena betapa aku merindu dirimu. Dan betapa aku merindu saat bersamamu.

Terakhir kali aku melihat senyummu, dibawah terik mentari siang itu. Saat engkau pergi tinggalkan daku sendiri disini, ditemani sepi. tanyaku tak pernah henti, apa sebab engkau begitu terburu meninggalkan aku disini sendiri. Tak lupa tanyaku saat itu, hingga kini. Dalam gelap aku selalu menanti satu sinyal yang mampu menjawab keraguanku dihati.

Selang beberapa hari, setelah hari itu, kau tak lagi tersenyum seperti dahulu. Kau mengulum senyum pada dirimu sendiri, disaat hati risau tiada henti. Tak lama ku ketahui, kabar yang tak ku sangka akan terjadi. Kepergianmu di siang itu, menyambut kumbang lain yang datang menemuimu. Daku, hanya bisa terdiam dalam bisu, daku hanya bisa menangis dalam hatiku. Tak ada lagi yang bisa aku katakan padamu, hanya senyum kecil dalam perihku untukmu.

Mereka hanya bisa tertawa, melihat diriku sendiri, tertawa terhadapku, bukan lagi tertawa bersamaku. Aku tak mampu lagi berujar kata, tak bisa lagi tersenyum bersama. Dalam tawaku, tersirat luka yang mendalam. Dalam gelapku hanya tangis pilu yang bisa kurasakan, aku mencoba bertanya pada bintang dan langit malam. Salahkah aku dan kucoba berbisik pada rembulan, dosakah aku. Hingga saat terakhir aku melihat senyummu, bahkan hingga hari kebahagiaamu bersamanya. Aku tak bisa lagi merasakan, aku tak mampu lagi memikirkan. Betapa luka yang mendera  begitu dalam.

Tak kusangka, engkau yang selama ini aku rasa bahagian dari separuh jiwaku. Kini pergi jauh bersama dirinya. Sedangkan aku hanya mampu menatapmu di panggung kebahagiaan itu. Daku hanya bisa mengulum senyum sambil menelan kepahitan dalam diri. Hanya senyum terakhirmu yang masih kuingat hingga kini. Hanya kata terakhirmu yang masih terngiang ditelingaku. Hanya itu yang kini bisa kusimpan sebagai kenangan darimu. Semenjak engkau pergi bersamanya, dan meninggalkan diriku selamanya.

Sekarang kau telah bahagia bersamanya, kalian bersama melalui hari- hari berdua. Senyum bahagia tak pernah lekang saat aku melihatmu dengannya. Terkadang aku mencoba tersenyum pada kalian, dan membuang jauh rasa sakit itu. Menyapa dengan rasa suka dan menyimpan dalam luka. Tak lupa sapaku diselingi senyum kecil untukmu, mengulum dalam sedihku. Hingga detik ini, jiwamu masih belum bisa ku lupakan, bayangmu masih lekang dalam benakku. gores senyummu masih terlukis dihatiku. Dan engkau telah bahagia disana bersamanya. Dalam bahtera rumah tangga, dalam ikatan suci bersama. Bahkan lagi, akan hadir penenang hati yang mengisi kesunyian bahtera kalian. Malaikat kecil, pelipur rindu ditengah haluan.

Bunga,... bunga itu kini perlahan mulai layu, karena tak ada lagi hujan yang datang untuk menyiram. Sedang taman hati itu mulai gersang, kering tak seindah dulu lagi, tak seperti saat disemai, dan disinari hangatnya mentari pagi. Kicau burung kecil di bawah dahan pepohonan rimbun, yang biasa mengawali indahnya pagi, kini tak ada lagi. Mungkin ia pergi menjauh, menjauh dari taman yang perlahan kian gersang, kering kerontang, mati ditengah kehidupan. Dan kini, tinggal aku sendiri dalam taman itu, menatapi setiap rerumputan taman yang kering didalamnya.

Hanya aku, hanya jiwaku sendiri.😔

Salamku untukmu, yang pernah mengajariku tentang rasa cinta, yang pernah memberikan aku arti bahagia. Dan melukiskan senyuman diwajahku, diatas semua perjuangan beratku mengarungi hidup di dunia. Dan salamku, untukmu yang meninggalkan separuh luka di hatiku. 😔

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senjaku Bersamamu

Senandung Gerimis Tengah Malam*

Memory yang mengikuti