Antara Idealisme Mimpi, dan Idealnya Hidup



Kenyataan dan pemikiran yang kita hadapi terkadang sangat jauh bertolak belakang dengan yang kita inginkan. Cerita dari setiap lisan, dari setiap penyampaian tidak selalu sama dengan kenyataan. Apalagi, jika setiap pribadi memiliki keinginan dan mimpi yang tak pernah selalu sama, dalam berbagai keadaan dan kesempatan, kemungkinan juga dengan bermacam- macam mimpi banyak orang.

Bermimpi adalah suatu anugrah bagi kita, karena itu pemberian dari Allah swt. Namun tidak setiap orang memiliki mimpi yang jelas, ada sebagian yang hanya menjalani hidup sebagaimana adanya. Sehingga mereka tak begitu tertarik untuk memiliki dan mengejar mimpi dalam hidupnya.

Untuk sebagian yang lain, mereka yang berusaha sekedar berkarya, tak lebih mengikuti arus hidup, memberikan hasil yang seadanya. Sedangkan yang lainnya diatas rata- rata, dibagian puncak piramida segelintir mereka mampu mewujudkan khayalan dan mimpi mereka ke alam nyata. Kita mengalami hal yang sama, satu hal yang sering difikirkan adalah pekerjaan yang sesuai dengan keinginan atau cita- cita kita, paling tidak sesuai dengan jurusan yang kita ambil semasa kuliah dahulu. Selain sesuai dengan passion dan cita- cita, gaji juga menjadi pertimbangan bagi kita dalam memilih perkerjaan. Seandainya mungkin, jurusan yang kita pilih dalam kuliah harus sesuai dengan pertimbangan tersebut. Karena ketika kita melamar pekerjaan kita juga diwajibkan untuk mencantumkan kisaran gaji yang diminta, tentunya ini tidak sama disetiap perusahaan dalam menetapkan nilai gaji karyawannya.

Sementara pada zaman sekarang diperlukan perjuangan agar tetap bertahan hidup. Segala sesuatu memiliki nilai tersendiri, sehingga setiap orang harus bekerja keras agar bisa memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan. Sebenarnya ada banyak pekerjaan yang mendatangkan banyak uang sekaligus sangat dibutuhkan. Sayangnya, masih banyak orang yang belum mengetahuinya. Untuk mengetahui hal ini, dibutuhkan keahlian dan kecermatan serta pengalaman kita semasa kuliah. Bagaimana kita bisa membaca peluang dan kesempatan. Hanya saja, yang menjadi permasalahan tidak semua mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya mampu membaca peluang disetiap masanya. Disebabkan oleh beberapa hal, misalnya kurangnya keahlian yang dimiliki sesuai dengan jurusan semasa kuliah. Bisa jadi juga dikarenakan saat mereka mengambil jurusan kuliah, pilihan tidak berdasarkan keinginan yang sepenuhnya untuk benar- benar mendalami skill yang diambilnya.

Tetapi, ada juga diantara mereka yang selama mengikuti masa perkuliahan. atau bahkan sebelum masa itu (masa SMA), mereka sudah mempersiapkan segala hal, dengan tekun mengikuti pelajaran yang diberikan dimasa SMA. Kemudian, mengikuti bimbingan belajar dan ekstrakulikuler yang menunjang skill atau keahliannya. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan cita- cita dimasa depan. Tak sedikit orang-orang yang melakukan hal ini, juga tak sedikit mereka yang gagal menempuh mimpinya setelah mempersiapkan semua yang dibutuhkan. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu, satu diantaranya yang mungkin tak tertulis dan terukur adalah sistem. Sistem yang mengatur hukum dan lingkungan sosial masyarakat, sangat berpengaruh dalam kontrol sosial mereka. Relasi atau rekan kenalan yang dimiliki juga tidak terlalu menunjang pengembangan diri, menjadi pribadi yang sukses. Tergantung bagaimana kita menyikapi setiap relasi dan kenalan yang kita miliki. Aturan yang mengatur sistem sosial suatu organisasi atau masyarakat, tetap berperan kuat dalam menentukan kesuksesan kita.

Seperti halnya perbedaan sosioal budaya masyarakat kota, dengan pedesaan. Tentunya, aturan lingkungan masyarakat pedesaan, yang humanis, memegang aturan adat yang tinggi, memiliki paguyuban yang kuat. Tidak sama dengan aturan sistem sosial perkotaan yang industrialis, serba cepat, dan urban. Komunikasi kedua contoh, komunitas tersebut juga berbeda. Ditambah lagi budaya kita hari ini terobsesi untuk mewujudkan harapan- harapan positif yang mustahil diwujudkan. Seperti, menjadi lebih bahagia, menjadi lebih sehat, menjadi paling baik, lebih baik daripada lainnya. Menjadi lebih pintar, lebih cepat, lebih kaya, lebih seksi, lebih populer, lebih produktif, lebih diinginkan, dan lebih dikagumi. Menjadi sempurna dan memukau. Setiap pagi anda meninggalkan ratusan juta uang, setelah sarapan pagi dan mencium istri anda yang cantik, dan sudah siap melakukan selfie, lalu berpamitan kepada anak- anak kita yang manis dan gendut.

Segala macam tuntutan pribadi dan keadaan diri kita, yang kita harapkan bahwa semua itu bernilai positif. Ironisnya pengarahan pemikiran dan keadaan ini pada hal- hal yang positif tentang segala sesuatu yang lebih baik, sebenarnya hanya mengingatkan diri kita lagi dan tentang kegagalan kita, kekurangan kita, apa yang seharusnya kita lakukan namun gagal untuk kita wujudkan. Di tambah lagi setiap nilai yang disampaikan baik itu dimedia cetak, maupun informasi adalah bahwa kunci suatu kehidupan yang lebih baik adalah pekerjaan yang lebih baik, mobil yang lebih mewah, atau pacar (istri) yang lebih cantik, atau rumah mewah dengan kolam renang lengkap dengan air mancur untuk anak- anak. Dunia secara otomatis menunjukkan kepada anda bahwa jalan menuju kehidupan yang lebih baik adalah lebih, lebih, lebih. Dapatkan lebih banyak, beli lebih banyak dan lain sebagainya. Liburan ke destinasi yang lebih baik daripada teman kerja anda.

Meskipun memang tidak ada salahnya, namun terlalu perduli dengan banyak hal tersebut akan berakibat buruk untuk kesehatan mental kita. Ini membuat kita terlalu terikat pada hal- hal yang dangkal dan palsu. Kita membiarkan hidup kita demi mengejar fatamorgana kebahagiaan dan kepuasan. Terkadang untuk kehidupan yang lebih baik bukan tentang memperdulikan lebih banyak hal, tetapi memperdulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar, mendesak, dan penting.

Sebenarnya terdapat sebuah masalah dari itu semua. Masyarakat saat ini, melalui  perubahan sosial budayanya, menjadi masyarakat konsumen dan juga media sosial yang giat dijadikan ajang pamer, telah melahirkan generasi manusia yang percaya bahwa memiliki pengalaman pribadi atau kehidupan yang sederhana adalah sebuah hal yang negatif. Coba perhatikan, saat kita melihat beranda facebook kita, setiap orang menjalani saat- saat yang menyenangkan. Lihat teman kita memiliki pekerjaan yang cukup bergengsi, gaji tinggi dan berpakaian serba rapi. Traveling atau jalan- jalan ke destinasi wisata yang baru cukup terkenal, bersama seluruh keluarganya. Tetangga anda mungkin saja baru mendapatkan hadiah sepeda motor terbaru dengan desain sportif. Sementara kita, hanya duduk dirumah dengan segala pekerjaan yang membuat baju kita kotor dan kumal. Hal ini seperti lingkaran setan yang membuat kita tertekan, terlalu gusar, dan terlalu membenci diri sendiri.

Padahal zaman kakek kita dulu, jika mereka merasa kesal dan membuat sebuah kesalahan. Mereka biasanya berkata dalam hati, “ya ampun, hari ini saya merasa benar- benar seperti tahi lembu, tapi yah... bukankah ini hidup. Ya sudahlah kalau begitu, lebih baik sekarang kembali mencangkul disawah”. Tapi saat ini, jika kita merasa seperti “tahi lembu” hanya untuk beberapa menit saja, kita akan dihujani dengan banyak gambar- gambar orang yang benar- benar gembira dan memiliki hidup yang sangat menyenangkan, dan kita mustahil untuk tidak merasa seolah hidup kita sungguh salah hingga ke anak cucu.

Inilah yang menjadi sumber kekacauan kita, kita merasa kecewa atas kekecewaan kita sendiri. Kita merasa bersalah atas rasa salah itu sendiri. Kita jadi marah- marah atas kesalahan yang kita buat sendiri. Untuk menghilangkan itu semua adakalanya kita harus bersikap “masa bodoh” atas itu semua, tidak ambil pusing terhadapnya. Dan ini tidak apa- apa, karena memang seperti itu, dan akan begitu adanya. Dengan tidak ambil pusing, ketika kita merasa buruk, berarti kita memutus lingkaran setan yang menghantui kita selama ini. Kita berkata pada diri sendiri :” saya merasa sangat buruk, dan saya rasa saya telah gagal, terus kenapa ? dan apa masalahnya ?”. Dengan begitu, kita bisa berhenti membenci diri kita sendiri saat merasa begitu kecewa. Kita sering bercanda di media sosial, tentang masalah- masalah di negara maju, namun sesungguhnya kita telah menjadi korban dari kesuksesan kita sendiri.

Masalah kesehatan yang dipicu stress, gangguan kecemasan, kasus depressi, yang semakin meningkat beberapa tahun ini. Meskipun kenyataanya setiap orang memiliki kendaraan pribadi, tv layar lebar, kulkas, dan rumah mewah. Krisis kita bukan lagi soal materi, namun soal eksistensi, ranah spritual. Kita punya banyak barang dan peluang, sampai- sampai tidak tahu apalagi yang bisa kita kerjakan sekarang ini. Karena tidak terbatasnya hal yang dapat kita lihat dan kita ketahui, tidak terbatas pula hal- hal yang mengakibatkan kita merasa terpinggirkan, merasa diri kita jelek, dan merasa kecewa karena yang kita miliki tampak tidak sehebat kita kira. Dan inilah yang mengoyakkan hati kita dari dalam.

Seperti kata filsuf eksistensialisme, Albert Camus, “Anda tidak akan pernah merasa bahagia jika anda terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan. Anda tidak akan pernah hidup jika terus mencari arti kehidupan”. Tentu sebagian hal diatas pernah kita alami, dan kita sedang berupaya untuk mencari solusinya. Jika saya ditanya, bagaimana ? maka saya jawab, hentikanlah kebiasaan kita yang secara terus menerus, berusaha untuk mengejar kebahagiaan palsu, hentikan kebiasaan kita yang terus- menerus memperhatikan dan memperdulikan hal- hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk kita tanggapi. Menilai dan mengkomentari postingan orang lain, tentang mobil barunya, rumah barunya, jalan- jalan (traveling) sahabat kita ke destinasi wisata terbaik. Lupakan itu semua, dan mulailah perduli pada hal penting yang memang harus kita perdulikan. Dan berhentilah mengutuki, keadaan diri sendiri, berhenti mengecewakan kekecewaan diri sendiri. Karena hal itu tak akan menghilangkan rasa kecewa dalam hatimu. Terimalah kekurangan diri sendiri dan tak usah terlalu memikirkannya. Namun, terus berusaha memperbaikinya meskipun rasa kecewa itu masih tetap ada, lantas kenapa ?. Agar secara perlahan kekecawaan terhadap diri sendiri itu akan hilang. Dan rasa percaya diri kita muncul, sehingga kita mulai menyadari betapa banyak potensi dalam diri kita yang bisa kita kembangkan. Belajarlah dari orang tua kita dahulu, ketika mereka merasa kecewa dan menganggap kesalahan dirinya seperti “tahi lembu”. Katakan pada diri sendiri memang beginilah hidup, dan sebaiknya aku terus melanjutkan kerjaanku mencangkul disawah. Selamat Menikmati !.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senjaku Bersamamu

Senandung Gerimis Tengah Malam*

Memory yang mengikuti