Menanti Mentari

         


           Ditengah senyum sang mentari, indah rautnya dibalik ufuk. Seakan ia tersipu malu, untuk mulai hari ini. Daku melewati setapak demi setapak jalanan yang berdebu. Begitu tenang diri ini menelusuri tepiannya, mataku terus menjelajahi pepohonan yang rindang. Dibawah bayang- bayang dedaunan yang terkulai, pasrah akan takdir hidup siang ini. Diterpa setitik debu pada tepinya, hingga keruh raut wajahnya. Entah karena dirinya telah pasrah bersama takdir yang menyapanya, atau dengan tegar ia terima semua cerita tentangnya. Seketika mata ini memandang jauh ke langit biru. Menatap indahnya segumpal awan, ditengah birunya yang tenang mencari teman. Ia berjalan perlahan dalam kesendirian di pagi yang lengang, bersama kicauan hangat menyambut dikala diam.

          Semua begitu syahdu ditelingaku, karena hari ini aku menjalani sebuah episode dalam hidupku. Dengan tangan kecil ini, bersama kaki yang selalu memulai hari tanpa letih. Ragaku, mencoba untuk menggenggam cita. "Cita yang besar itu, ingin sekali rasanya hari ini kugenggam dengan tangan kecil yang tak terkepal", pikirku. Namun, hati ini tersentak oleh sapaan kerikil- kerikil tajam yang rintangi jalanku, juga merintangi setiap jejak hidup yang kulalui. Ingin kulewati dirinya dan tak lagi melihatnya. Namun, daku sadar tak mungkin berjalan tanpa sambutan kerikil kecil. Setelah lama berfikir, tak tentu apa ujung dan pangkalnya. Bagai seorang ilmuwan yang sedang memecahkan sebuah kasus besar, yang memerlukan ketelitian demi mendapat rincian. Jua ledakan ilmu pengetahuan. Namun, selalu dalam kegagalan. Ilalang menyambutku dan ia begitu hijau hari ini, tak tahu bagaimana dirinya siang nanti setelah terik sang surya bercengkrama bersamanya. 


          Sesampainya daku diruangan yang tak bersuara, menemani jiwa, kesunyian seraya menyapa. Sepertinya ia berkata kepadaku, "sudah siapkah kau hari ini hai anak muda, untuk mengukir sejarah dalam hidupmu". Sejenak aku tertegun, memandangi gedung tua yang tak berprasangka. Bisu dirinya, acuh dengan apa yang aku lakukan padanya setiap hari. Kutendang, kuberi warna, dengan tangan jahil ini kugoreskan segala kemarahan padanya. Apa daya ia hanya pasrah menerima itu semua. Hembusan semilir angin sejuk menerpa dedaunan, mengalun syahdu mendendangkan lagu, kicau dibalik atap ruang yang usang, seekor burung kecil juga tak mau kalah ia terus menyenandungkan syairnya berlomba dengan angin di pagi ini.



          Seperti biasa, sesampainya disini aku tertegun karena tak ada teman yang datang. Sesekali aku memandang ketengah lapangan yang setengah hijau dan berdebu. Seakan rumput disana hidup segan mati tak mau, ia ingin hidup ditengah panasnya tanah merah. Namun, tak sedikit kaki- kaki jahil yang membunuhnya. Jenuh hati ini, lalu berjalan mengitari taman- taman sejengkal kehidupan. Itulah taman yang ada didepan kelas kami semua. Ia tidak begitu besar, karena tak sulit kaki kecilku untuk melangkahinya. Senyum kecil diri ini disapa oleh suara halus yang hadir dibelakangku. "Hai Danu, cepet banget nyampek sekolah" sapa mulut kecil itu padaku. "Ga ada, cuma pengen aja, kamu sendiri Ren ?". Sejenak ia tersenyum dan menghilang dibalik pintu reot ruangan yang kami sebut itu kelas. Rendi temanku, kami kenal ketika dikelas satu SMP. Ia teman yang saat ini paling dekat dengan diriku, tampan, dingin, dan menghanyutkan bagi wanita. Itulah dirinya, bagaimana tidak...!!! Sudah berapa teman perempuan dikelas kami yang jatuh hati padanya. Yang kami sebut itu dengan cinta monyet, ia bertubuh sedang, dengan otot- otot yang padat. Sehingga baju apapun yang dikenakannya selalu pas dengan wajahnya. Tidak dengan diriku, kurus tak berisi, bagai kertas tipis yang ditiup angin. Sekali angin berhembus diriku akan hilang bersamanya. Sejenak aku tertawa, memikirkan diri ini, kadang aku juga ingin seperti dia atau juga sering aku merasa bahwa diri ini adalah gatotkaca. Tokoh wayang pembela kebenaran, ia kuat tangguh dan dicintai wanita. Dan kenyataanya, aku seperti gatotkaca, namun versi wayang kulit. Tipis, kering, tulang rusuk yang menjadi tumpuan utama daging- daging yang ada. Bahkan kemarin sore, aku berkhayal menjadi anak muda India dalam film kuch- kuch hota hai, versi Indonesia. Berlagak melawan musuh dengan jurus tarung nomor satu. Seketika aku keluarkan jurus jituku. Begitu kaki ini mengayun sekuat tenaga, lemari buku dikelas kami menyambut tulang kering kaki kananku. Sontak terjatuh, dengan sedikit tetesan air mata, sedangkan wajah memerah, mulut berkerut menahan sakit yang tak terbilang. Anak muda India masih kalah dalam pertarungan, namun tak pernah menang.

          Setiap masa yang aku lewati, dipagi nan indah ini, jauh kutatap langit yang begitu lembut menyambut kicau mentari bersama alunan pagi. Terbayang oleh hati yang sepi, bagaimana cerita kehidupan yang akan aku jalani setelah ini. Setiap aku melangkahkan kaki menelusuri terjalnya kerikil- kerikil kecil yang menyambut kedatangan diriku. Setiap itu pula hatiku berkata, "apa yang akan kulakukan setelah semua ini berakhir". Mengenang masa lalu, yang masih tergambar jelas dalam hatiku. Seakan baru kemarin terjadi. Sepertinya, baru hari ini aku merasakan adanya perbedaan. Kemarin suara yang indah itu masih terdengar jelas dakam gelak canda dan tawa. Wajah- wajah itu masih jelas tergambar dalam sorot mataku.

          Bayangan masa lalu yang menghantui apakah ia akan terus begini. Yang membuat terkadang diri ini merasa tak mampu untuk menatap masa depan, seakan semua tampak suram. Lama sudah aku berada disini, masa yang aku lewati tak akan mungkin kembali. Hanya saja diriku masih selalu berharap akan hal itu, agar aku bisa mengubah arah jalan cerita hidupku. Tiba- tiba menaik senyum bibirku, sembari disambut suara bel sekolah pagi ini. SMP Negeri 2 Simoang Hulu, itulah sekolahku, bukan sekolah favorit memang, namun setidaknya ia membantu untuk orang- orang kampung yang pengetahuan wawasanya berada dibawah rata- rata sepertiku. Anak buangan sekolah lain yang tak mampu lagi dibina, juga kami orang- orang tak punya. Setiap pagi aku melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana suara dan wajah mereka yang berkerut dengan sabar membimbimg kami. Kadang kulihat peluh menetes diwajahnya, namun kami semua tak menghiraukannya. Semua suara dan ucapannya seakan angin berlalu yang segera pergi. Yang pasti hanya beberapa orang saja yang merasakan bahwa apa yang mereka katakan adalah sebuah untaian pengobar semangat untuk meraih masa depan. Bagiku itu sangat berarti, namun seiring perjalanan waktu yang terus bergulir, untaian kalimat yang masuk ke telingaku mengalir keluar dan terjatuh dilantai. Bagai derasnya air terjun yang turun menghempas bumi. Setelah beberapa saat aku tertegun menatap jauh. Tersentak oleh senyum kecil dari jiwa yang rindu cita. "Hai danu, jangan melamun. Nanti kesambet baru tahu" sahut Rendi. "Ah biasa aja, kau dari tadi kemana, gitu datang langsung hilang" sahutku. "Ga' ada cuma lagi santai- santai aja.... biasa....". Candanya, seraya memainkan alis matanya. 

          Terkadang dipagi hari, sebelum memulai pelajaran, kami mencari makan dikantin. Padahal sebelumnya kami telah sarapan dirumah, namun entah mengapa seolah perut ini tak merasa penuh. Mungkin karena perjalanan yang jauh kami tempuh dengan sepeda. Sehingga membuat sarapan yang baru saja kami makan dicerna dengan cepat. Secepat kami mengayuh sepeda. Yang terkadang kami kayuh secepatnya takut didahului oleh mentari yang telah bersinar cerah. Karena takut jika terlambat masuk sekolah kami akan bertemu dengan Pak Husnaini. Beliau guru olahraga yang setiap pagi telah bersiap untuk menghukum kami jika terlambat masuk kelas. Dengan pakaian rapinya, plus tongkat sakti yang selalu siap untuk melibas kaki kami. Ditambah kumis yang tebal membuat kami semakin takut dekat dengannya. Ia bagai, satpol pp yang siap untuk menghajar maling yang tertangkap. Sebagai guru killer, ia cukup ditakuti para murid disekolah.

          Kali ini dan mungkin seterusnya masih tetap sama, dengarkan ceramah dari sang pembicara. Aku duduk dibangku paling depan, karena katanya jika ingin menjadi orang yang terdepan haruslah duduk didepan. Hatiku bingung, itu keinginan pribadi, atau hanya sekedar ambisi menerima pujian setiap hari. Awal, kubuka secarik kertas dan tangan kecil ini mulai menuliskan apa saja yang kurasa berita. Berita tentang hari depan ummat manusia, berita tentang apa yang sebenarnya ada dalam raga, juga berita dari mereka, teman- temanku yang gila. Jika tidak satu hari saja kasus yang mereka terima, seakan dunia ini hampa. Tidak selalu aku mendengarkan apa kata mereka, guruku yang tak pernah lelah berbicara. 



          Kadang kulihat mereka dengan sisa tenaga yang dimilikinya, tak terbayangkan jauhnya perjalanan dan tak perduli dinginnya embun pagi. Tubuhnya terus melaju diterpa angin bisu, tak jarang raut wajah yang bercahaya menjadi usang ditimpa debu jalanan. Itu pun sama sekali tidak menjadi perhatian wajah- wajah lugu yang dari tadi lelah menunggu. Bukan karena telah bersiap- siap untuk menanti pelajaran hari ini. Namun, sorot mata mereka tak henti memperhatikan putaran waktu dibelakang kelas. Serasa jam dinding kami berhenti berputar, dan mata juga berubah menjadi beringas. Disebabkan kampung tengah yang mulai terjadi demonstrasi, menuntut haknya untuk diisi. Sontak bel berbunyi, dengan sigap tangan- tangan mereka memasukkan buku ke dalam laci. Dan berhamburan keluar mencari kantin, sebagian masih didalam. Bukan untuk mendiskusikan pelajaran tadi. Namun, ternyata tadi pagi begitu mereka sampai disekolah kangsung menuju ke kantin dan mempersiapkan stok sembako jika tiba- tiba terjadi demo di kampung tengah. 

          Jiwa kecil ini, tak luput dari aktivitas dan rutinitas anak sekolahan. Dengan gaya sok maching, rambut sedikit berdiri, berjalan keluar berlagak modis. Setelah itu, akan kemana lagi aku tak tahu. Mungkin jika tak melihat sekeliling lapangan aku hanya terduduk di dalam kelas. Jika tidak meja yang kujadikan drum, seolah sedang memainkan musik gaya drummer band. Atau depan kelas kami kujadikan lapangan sepak bola. Aktivitas dan rutinitas yang tak pernah bosan kujalani. Dan jika bel telah berbunyi, semua harus seolah- olah terlihat terburu- buru menuju kelas. Jika tidak ingin mendapat sambutan hangat dari guru dengan penuh kasih sayang. Setelah itu, jika bukan perut yang merah bekas cubitan, betis yang pegal bekas pukulan. Jika mentari telah meninggi, mulai terlihat wajah- wajah murid sejati. Mengantuk, lapar, tak ingin lagi belajar, itulah yang terjadi, tak luput juga raga ini. Yang merupakan bagian dari realita anak desa. 

          Masih tergambar jelas dalam benakku, apa yang menjadi tujuanku dulu. Bersepeda jauh ke gedung tua ini, dan selalu tiba sendiri. Bahkan, mataku tak mengantuk jika harus terbangun jam 4 shubuh, sedang ayamku masih belum berkokok lagi. Jua embun pagi masih segar membasahi dedaunan. Masih jelas terlukis dalam hatiku, semangat yang begitu membara, untuk menggapai cita. Tekad yang kutulis dalam secarik kertas, kuhias dengan bingkai bekas, dan kugantung didepan rak buku. Tanpa ada rasa malu, untuk mengejar citaku. Kini, kertas itu telah berubah menjadi debu ditempat sampahku, terbakar bersama daun kering dan asaku. Seiring perjalanan waktu, tekad itu memudar dan menghilang ditelan zaman. Hempasan keras yang menjatuhkanku untuk mengejar cita- cita. Dan tak sanggup aku untuk bangkit kembali, karena tubuh kurus ini tak berdaya melawan cobaan hidup semata.

          Setiap pagi aku hadir dalam gedung tua ini, masih berlomba dengan mentari. Namun, tak seperti dulu lagi, saat aku bersiap untuk menyongsong pagi. Kali ini, aku tak tahu tujuanku kesekolah, yang ada dalam benakku hanya hadir isi absensi dan pulang. Semua kujalani tanpa makna tersendiri, semua rutinitas masih tetap kujalani, tetapi tak ada makna sama sekali. Sering dalam perjalanan saat aku sendiri, menatap dedaunan dan langit biru yang bersinar cerah. Aku kebingungan, apa yang sebenarnya ku cari. Ilmu ?, aku tak berminat sama sekali, hanya sekedar rutinitas yang kujalani. Materi, mungkin tak seberapa uang jajan yang kuterima, hanya cukup untuk makan siang saja. Itupun tak pernah ada yang tersisa, hingga aku tak sadar bahwa diri ini telah menjadi konsumtif kelas kakap, dan tak perduli dengan kondisi finansial kantong pribadi.

          Semakin lama, arahku semakin tak menentu. Jalanan yang kulalui membuat aku bingung, dan tak mampu untuk pahami makna dari semua ini. Hingga dikala aku merasa ada sesuatu dihati, yang membuatku ingin berprestasi sontak jiwa menggebu dan ingin terus melaju. Namun, saat jalanan dipenuhi dengan duri yang tak bertepi. Jiwaku lari bersama pengecut dan tak pernah kembali. Itu semua terus terjadi hingga diriku bertemu dengan seseorang yang kurasa berbeda.

          Ia tak ada beda dengan yang lainnya, namun hatiku terus bertanya siapa sebenarnya raga itu. Jasadnya tak berbeda dengan kami, wajahnya yang bulat tak lebih dari selembar kulit tipis yang menutupi tulang tengkorak. Tetapi, hati kecilku bertanya- tanya siapa jiwa itu. Dan mengapa ia begitu menarik perhatianku. Seakan ia ingin memberikan sesuatu kepadaku, sesuatu yang besar dan berharga. Mungkin seperti sebuah berlian yang sangat bernilai tinggi. Sesaat aku tersadar, "tak mungkin ia memberikan sesuatu yang berharga untukku, sedang keretanya sendiri tak lebih dari kereta star Honda merah yang telah usang" gumam hatiku. Tak akan mungkin, sedang ia tak lebih dari guruku, yang setiap pagi mengajar dan pulang. Itulah ingatanku dikala melihat dirinya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, namun aku tak tahu itu apa.

          Dia itu adalah wali kelasku dikelas dua SMP, dan berjumpa dengannya juga baru hari pertama kami belajar dikelas dua. Pak Anto namanya, masih jelas kuingat logat asli jawa yang mengalir dimulutnya, saat menerangkan sejarah kepada kami. Juga kopiah yang melekat dikepalanya begitu terlihat pas dengan wajahnya yang bulat, dan tubuhnya yang gemuk dengan tinggi badan sedang. Masih belum kutahu apa yang berbeda darinya, namun yang aku tahu dia memiliki kreativitas lumayan dibanding dengan guru- guru kami yang lain. Dia mampu memberikan semangat dan inspirasi baru untukku. Hal ini bermula kami akan merayakan hari kemerdekaan NKRI, dan diadakan lomba menghias kelas. Awalnya aku tidak mengerti apa yang sedang dikerjakannya, juga apa maksud dari kertas minyak yang diberikan kepada teman perempuanku. Mengapa menghias kelas kertasnya harus dibawa pulang ?, bukankah lebih baik dikerjakan disekolah saja. Aku menunggu apa yang akan terjadi nantinya dengan kertas itu.

          Keesokan harinya, aku menunggu temanku dan guruku tersebut, tak sabar aku ingin tahu apa yang sebenarnya akan terjadi dengan ruangan kelas kami. Lalu.... aku melihat ada satu keindahan yang berbeda dengan kelas kami. Hiasan yang dibuat oleh guruku sungguh berbeda dengan apa yang aku bayangkan, ada daya tarik tersendiri buatku. Sembari memperhatikan teman- temanku sibuk, "tak kusangka walaupun ia lelaki, tak kalah kreatifnya dengan guru perempuan kami, bahkan ia lebih kreatif lagi" gumamku. Mungkin tidak begitu jauh perubahan yang terjadi, karena memang kelas kami telah usang dan jendelanya ompong tanpa kaca. Namun, aku menyadari pentingnya kreativitas pribadi yang harus tetap digali. Karena setiap insan memiliki keunggulan tersendiri, juga kami bukanlah manusia- manusia buangan yang tak berarti. Setiap kami, memiliki intelegensi yang harus terus dicari dan jangan pernah berhenti. Inilah pelajaran pertama yang aku dapatkan darinya. Pelajaran awal yang tak pernah terlupakan, untuk seorang bajingan yang telah lama tersesat didalam terowongan gelap. Berharap dapatkan setitik cahaya terang untuk keluar. Dan ternyata hasil kerja keras yang dilakukan teman- teman sekelasku cukup untuk melepas penat dan lelah kami. Kami memenangi juara menghias kelas, juara pertama berhasil kami dapatkan. Selain itu juga, kami merasa ada sesuatu yang baru mengalir dalam pikiran kami. Apa yang dilakukan oleh pak anto benar- benar memberikan inspirasi bagi sekolah kami. Tak disangka banyak perubahan bagi sekolah kami begitu beliau mengambil peran. Tidak hanya perubahan dikelas, tata kelola taman sekolah, tetapi juga prestasi kami. Semenjak beliau menjadi wali kelas kami. Banyak prestasi yang kami raih, jika dahulunya kami banyak meraih prestasi dibidang olahraga saja, dan itupun diraih kakak kelas angkatan terjauh diatas kami. Yang artinya telah bertahun- tahun lamanya kami tidak mengukir prestasi, apalagi sekolah kami yang terkenal dengan siswa paling brandalnya seKecamatan. Kehadiran Pak Anto seperti membawa harapan baru bagi sekolah kami. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Penyelesaian

Bunga Hatiku

Bersyukur Akan Membuatmu Lebih Bahagia